" tos,tos, tong pasea,..! sok pacantel.. "
Apakah anda pernah mendengar kalimat tersebut dari orang tua saat anda masih kecil?
Biasanya, saat seorang anak bertengkar dengan temannya, orang tua selalu menyuruh anaknya pacantel, atau mengaitkan jari kelingking sebagai tanda perdamaian. Maka setelah itu, anak-anak yang tadinya berselisih itupun akan kembali bermain bersama seperti tidak pernah ada masalah di antara mereka.
Dulu kata orang tua saya, pacantel bukan hanya sekedar mengaitkan jari kelingking untuk bermaafan, namun juga mempunyai makna mengikat kembali persaudaraan atau pertemanan yang mungkin merenggang setelah adanya konflik atau masalah.
Sayangnya masih tersimpan misteri dibalik cerita tersebut, mengapa yang dikaitkan haruslah harus jari kelingking, mengapa tidak telunjuk atau saling kait jempol saja?
Ah, biarlah hal itu tetap menjadi misteri..
Pacantel
Kembali ke tradisi pacantel..Yang saya rasakan dulu saat masih kecil, tradisi pacantel tersebut seakan-akan menjadi sebuah norma atau aturan yang mengikat setelah perdamaian.
Jika dua anak yang sudah pacantel kemudian bertengkar lagi, maka teman-temannya akan segera mengingatkan, "kan tadi sudah pacantel, masa mau bertengkar lagi ?", maka 2 anak yang berselisih itupun biasanya akan malu, berdamai, bahkan mungkin pacantel lagi.
Sangat indah ya tradisi perdamaian yang diajarkan oleh orang tua kita ? tradisi yang dulu diajarkan kepada kita, yang saat ini kemungkinan besar juga sudah menjadi orang tua, dan bukan tidak mungkin sebagian besar dari kita juga mengajarkannya kepada anak-anak kita.
Ya, tugas orang tua mah hanya sekedar mengajarkan, ga perlu lah kalau harus ikut melakukan..
Sok, pernah lihat ada orang tua pacantel ?
Padahal, tidak pernah ada aturan yang menyatakan bahwa pacantel hanya boleh dilakukan oleh anak kecil, bahkan tak pernah ada keterangan yang menyebutkan batas usia normal untuk melakukan pacantel
Aneh kan ? Kenapa justru para orang tua yang tau dan harusnya lebih mengerti tentang tradisi pacantel malah tidak menerapkannya dalam kesehariannya ?
Apakah karena orang tua punya cara sendiri, seperti bersalaman sambil berkata, "Ok, maaf.. ", kemudian menaruh dendam, atau membicarakan di belakang, "Da saya mah mun teu di mimitian.. "
Mungkin jika memang tidak ada aturan yang mengikat, maka mungkin tidak ada salahnya jika kita sebagai orang tua, menghidupkan kembali tradisi peninggalan nenek moyang tersebut bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga antara kita yang sedang berkonflik.
Jika melihat ampuhnya tradisi perdamaian itu bagi anak-anak, mungkin nantinya masalah serobot menyerobot lahan pagar rumah, masalah daun pohon jambu yang bala ke halaman tetangga, bahkan masalah yang lebih luas seperti masalah antar suporter bola, atau masalah beda pilihan pemimpin dan sebagainya, akan lebih mudah terselesaikan.
Betapa indahnya bukan?
Bayangkan saja jika Palestina dan Israel pacantel, Viking dan Jakmania pacantel, pendukung Jokowi dan Prabowo pacantel, pendukung Ahok dan.. , hmm.., saya hanya bisa berharap, berharap jika tradisi pacantel tersebut memang cara yang ampuh untuk menciptakan perdamaian, menghapus dendam dan kemarahan di hati kita yang tentu saja lebih dewasa dibanding anak-anak.
Iya kan ? Kita lebih dewasa dibanding anak-anak kan ? Jadi, maukah anda pacantel ?